HUMANITAS SEBELUM TANDA TANYA
Perdana Putri, Mahasiswi Program Studi Rusia 2011
Universitas Indonesia
Saya memang tidak kenal siapa Jamphel Yeshi, tapi
satu hal yang paling jelas adalah; saya menangis dalam diam melihat fotonya,
mungkin foto terakhirnya. Tidak ada pose yang menyenangkan, ia berlari dalam
balutan api yang menghantarkannya kepada kematian dengan 98% luka bakar di
tubuhnya. Lebih miris lagi, Yeshi bukan yang pertama, tercatat telah ada 30
orang biksu maupun biksuni yang membakar diri sebagai aksi protes terhadap
pemerintahan Cina.
Saya tidak akan mengkritik Cina atau apapun yang
berkaitan dengan siapa yang salah, siapa yang benar, saya melihat dari sudut
pandang saya sebagai manusia biasa, yang hanya bermuram ketika melihat foto
terakhir Yeshi, yang hanya dapat mempertanyakan dimana sisi humanitas yang
dimiliki manusia kini.
Kalaulah kita memiliki kepedulian terhadap
orang-orang minoritas, tidak hanya sekedar mengutuk di social media, namun juga membuat aksi, tulisan misalnya, untuk
meraih kesadaran publik bahwa hal gila tersebut sedang terjadi, dan manusia
yang memilih tinggal di comfort zone-nya
harus ditampar dengan realita untuk menyadarkan bahwa zona nyaman mereka itu
semu, dan dalam hitungan detik mereka bisa menjadi Yeshi berikutnya, pasti
tidak ada Yeshi yang berlari hingga 50 meter meski badannya terbungkus dalam
api.
30 biksu dan bikuni, ditambah dengan Yeshi, akan
mati sia-sia kalau tidak ada simpati sedikitpun dari orang-orang. Yeshi tidak
perlu terbalur api jika kita mau melihat kenyataan tentang apa yang sebenarnya
terjadi, dan ini tidak hanya berlaku di tempat lain, di Indonesia. Sondang,
mahasiswa UBK yang bakar diri dicemooh sebagai tindakan berlebihan, atau ada
konspirasi cuci otak, apapun alasannya, seyogyanya publik melihatnya sebagai
kecacatan sosial yang sedang terjadi. Jikalau benar ada pencucian otak, lalu
kenapa hal itu bisa terjadi? Kalau ia memang berlebihan, berarti almarhum
frustasi.
Saat mendengar komentar sinis publik tentang orang
yang membakar diri sebagai bentuk protes, saya merasa sangat─amat sangat─sakit
hati. Dia tidak punya humanitas dalam tubuhnya, dalam darahnya. Ya memang kita
harus realistis bahwa terkadang tindakan seperti itu berlebihan, tapi jangan
pernah berani menghujatnya kalau anda bahkan tidak punya gambaran tentang apa
yang terjadi dalam diri orang tersebut.
Seperti kata Fichte, jenis filsafat yang dipilih
seseorang bergantung pada jenis kepribadian orang tersebut, dan Yeshi hanya
menjalankan salah satu perkataan Gautama Buddha, “Berbahagialah dia yang telah berhasil mengalahkan egonya, dia yang
telah mencapai kedamaian dia yang telah menemukan kebenaran.” Dan Yeshi
mengalahkan ego untuk hidupnya demi mencapai kebenaran yang ia yakini ada di
dalam baluran api, untuk meraih kedamaian pribadinya.
bakar diri? ngeri.
BalasHapusmau? demi mencapai kebahagiaan diri.. hehe
Hapus