Gema adzan maghrib seakan meramaikan langit kota ini. Kota
yang kembali akan kutinggalkan setelah hampir 2 bulan aku berada disini. Kota dimana aku menghabiskan 9 tahun jatah
usia. Kota dimana aku mengalami bahagia canda tawa masa kecil, kota dimana aku
bercumbu mesra dengan cinta monyet ala remaja yang baru puber, kota dimana aku
merangkai harapan dan impian masa depan.
Di sekitarku,
terdengar gelak tawa seorang ibu yang bersama teman seperibuannya. Anak-anak
kecil yang berlarian sambil tertawa lepas mengelilingi ruangan. Seorang bapak
yang keliatannya sedang berbicara di telpon dengan rekan bisnisnya. Sepertinya
ia tidak sadar suaranya terlalu keras yang menyebabkan banyak calon penumpang
geleng-geleng kepala.
Ruang tunggu
bandara seakan menjadi ruang renunganku. Sudah kebiasaanku. Walaupun berada di
keramaian aku tetap mampu bermain-main dengan alam bawah sadar. Tiba-tiba
tersenyum manis saat teringat peristiwa menarik dan lucu di masa lampau,
tersenyum simpul saat terbayang berbagai kejadian yang menyakitkan hati,
menghela nafas saat semua kenangan itu terasa menyesakkan dada.
Masa lalu adalah
suatu keindahan, maka genggamlah masa lalu itu agar keindahan selalu mewarnai
harimu. Quote yang lupa darimana aku peroleh. Masa lalu adalah suatu
pembelajaran. Dimana hal-hal buruk yang telah terjadi tak perlu lagi kita
ulangi kembali di masa depan. Karena itulah, masa lalu bukan dilupakan, tapi
digenggam agar kita ingat bahwa dulu kita pernah merasakan hal yang manis atau
pahit.
Semenjak aku
lulus dari bangku SMA, ini kedua kali aku duduk sendiri di ruang tunggu bandara
ini. Pertama saat aku berangkat sebagai mahasiswa baru dan yang kedua saat aku
hendak memasuki tahun kedua. Berbeda dengan beberapa temanku yang mungkin tiap
3 bulan sekali pulang-pergi seolah-olah jarak kota ini seperti Jakarta-Depok.
Setahun sebagai
mahasiswa baru banyak merubah pola pikirku. Yaa, setidaknya suasana kuliah yang
serba individu tak kurasakan di kampusku. Kebersamaan dan kekeluargaan begitu
kental sehingga aku tak terlalu merasa homesick.
Tapi entahlah beberapa waktu ke depan.
Aku terhenyak,
setahun disana sangat tak terduga. Banyak peristiwa yang tidak pernah sama
sekali kubayangkan. Peristiwa yang tentu membuat aku menjadi mahasiswa yang
bisa bermasyarakat. Bukan mahasiswa yang sekedar menuntut ilmu dan berfoya-foya
karena merasa hidup bebas.
Aku berfoya-foya?
Boro-boro. Untuk ke mall aja mikir-mikir,hehe.. Berpeluh keringat di kamar
kosan walaupun sudah ada kipas angin menjadi suatu yang lumrah, berjalan kaki
ke kampus selama 10 menit sudah rutinitas, kemana-mana naik trans Jakarta atau
naik kopaja, bersempit-sempitan di kereta commuter
line menjadi hal yang biasa aku alami di awal dan akhir pekan, atau menahan
lapar karena memang uang kiriman kalau dihitung memang cukup untuk makan 3 kali
sehari selama 1 bulan.haha.. Untung aku masih punya saudara yang bisa aku
tumpangi makan untuk perbaikan gizi di akhir pekan
Hidup
bersenang-senang gak perlu belajar, tapi hidup bersusah-susah itu perlu
belajar. Itu nasihat ibuku yang selalu aku ingat sampai sekarang. Dengan uang
kiriman yang ternyata lebih sedikit dibanding harga sewa kosan temanku perbulan
benar-benar mengajarkan aku hidup prihatin, hemat, serta sederhana namun tidak
malu-maluin. Ya inilah hidup, hidup aku di kota itu selama setahun terakhir.
Hup! Kuperbaiki
posisi dudukku. Renunganku terpecah saat tiba-tiba pengeras suara mengeluarkan
pengumuman. Ya itu panggilan buat para penumpang pesawat yang kutumpangi.
Sebuah burung besi yang besar akan membawaku kembali ke tempat perjuangan
mewujudkan harapan dan impian yang kurangkai dahulu. Kembali ke tempat yang
banyak mahasiswa daerah takutkan karena begitu cepat dan kerasnya kehidupan
disana. Kembali ke kota yang kebaikan dan kejahatan jaraknya lebih tipis dari
sehelai rambut. Ke kota yang katanya metropolitan, sebenarnya lebih banyak
perkampungannya. Kota yang telah kehilangan identitasnya dikarenakan begitu
banyak suku yang berada di kota itu.
Bagaimanapun kota
itu, ke Jakarta ku kan kembali…
Kangen.
BalasHapus